Rabu pagi yang dingin tak menyurutkan langkahku untuk berangkat ke sekolah. Hari itu akan ada rapat kenaikan kelas yang dihadiri oleh orangtua dan wali murid. Bapak kepala sekolah memberiku tugas sebagai penerima tamu sekaligus membantu mengisi daftar hadir.
Pukul 07.30, beberapa orang mulai berdatangan. Secara bergiliran, mereka mengisi daftar hadir sebelum masuk aula. Adakalanya aku membantu beberapa orang yang masih bingung cara mengisi daftar hadir tersebut.
Menjelang siang, semakin banyak tamu yang datang. Antrian mengisi daftar hadir pun semakin panjang. Aku yang baru pertama kali itu menjadi penerima tamu sedikit kewalahan juga hingga harus membantu menuliskan nama orangtua atau wali murid agar orang-orang yang sudah antri di belakang tidak menunggu terlalu lama.
Tiba giliran seorang wanita paruh baya maju ke hadapanku. Aku menanyakan beberapa hal kepadanya agar dapat mengisi daftar hadir dengan benar.
“Nama Ibu siapa? Nama anaknya siapa?”
“Namaku Surti. Aku wali muridnya Suyono,” jawabnya.
Kucari-cari nama Suyono dalam daftar tersebut, namun hasilnya nihil.
“Maaf, Bu. Tidak ada nama Suyono di kelas empat. Nama lengkapnya siapa?”
“Namanya hanya Suyono saja. Aku wali muridnya Suyono,” jawabnya bersikeras, membuatku berkeringat dingin. Antrian semakin panjang, dan aku pun semakin panik.
“Apa benar Suyono anak Ibu kelas empat? Atau mungkin sekarang sudah kelas lima?” tanyaku penuh selidik.
“Lho, anakku Suyono itu sudah bekerja sekarang!” serunya lagi.
“Sudah bekerja? Lha terus, yang sekolah di sini siapa, Bu?” tanyaku lagi.
Jawabannya sungguh di luar dugaanku.
“Aku wali muridnya Suyono. Yang sekolah di sini anaknya Suyono. Namanya Rudi Pratama.” Sontak orang-orang di belakangnya tertawa geli sekaligus gemas.
“Oalaahh... Yang sekolah di sini cucunya ya, Mbah?” seru beberapa orang. Aku pun ikutan tergelak mendengarnya. Siapa sangka, ternyata masih banyak orang yang belum mengerti arti dari wali murid.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar