Kebumen, enam belas tahun yang lalu
Perempuan berkaca mata itu terisak. Wajah pucatnya berlinang air mata saat menyerahkan bayi mungil ke tangan Mbok Darmiasih. Sissy adalah satu-satunya alasan Erika tetap hidup hingga saat ini. Tak tega rasanya memberikan putri kesayangan kepada orang lain yang kelak entah akan dapat dilihatnya lagi atau tidak.
“Namanya Sicilia Hartanti,” ucapnya. Ya, bayi mungil itu bernama sama seperti tempat dia dilahirkan, Pulau Sicilia. Erika mencium kening bayi mungil itu dan memeluk erat, seakan enggan dilepaskannya.
Erina menepuk pundaknya, mengingatkan bahwa mereka tak bisa lagi berlama-lama di tempat itu. David dan gerombolannya sudah mulai memasuki rumah sakit, sedangkan kondisi Erika belum begitu sehat sehingga harus menggunakan kursi roda.
“Ayo, Erika! Mereka sudah datang! Aku janji, kita akan kembali lagi ke sini. Untuk sementara, Sissy lebih aman jika tinggal bersama Mbok Darmi.”
Erika mengangguk pelan sambil menutup wajahnya dengan masker dan mengenakan wig. Berdua, mereka meninggalkan bayi itu dalam dekapan Mbok Darmi, seorang yang baru saja dikenalnya. Mereka berdua berharap, semoga di tangan wanita dari Desa Serayu itu kehidupan Sissy akan bisa lebih baik.
***
Erina menegakkan kerah jaketnya hingga menutupi leher. Dingin terasa menusuk tulang. Ya, dingin bulan Desember yang selalu dibencinya. Bukan hanya karena hujan. Bagi Erina, Desember bukan hanya tentang hujan dan salju. Tapi juga tentang luka.
Desember tahun ini menambah panjang daftar kesedihan Erina. Satu-satunya kerabat mengembuskan nafas terakhir di tempat asing yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Erina, kau tahu, aku tak pernah sedikit pun peduli terhadap kehidupanku. Tak mengapa jika harus mati. Bagiku, kehidupan sudah lama pergi sejak berpisah dengan Sissy. Ah ... dia pasti tengah bahagia saat ini bersama keluarga barunya. Pesanku, Erina. Jika hari ini memang sudah tiba waktuku bertemu Sang Pencipta, aku harap kau mau menjaga Sissy baik-baik. Pastikan kehidupannya selalu aman dan damai, entah bagaimana caranya. Aku tak mau keberadaannya diketahui oleh Alfonso. Berjanjilah padaku, kau akan menjaga putri kecilku sebaik-baiknya.” Itulah pesan terakhir Erika—kakaknya—sebelum mengembuskan nafas terakhir karena terlalu banyak luka dalam menghadapi kawanan pengedar ganja di Palermo, Sisilia.
Amanah terakhir itulah yang kini membawanya ke Serayu, sebuah desa terpencil dengan akses keluar masuk yang sulit. Jarang sekali ada kendaraan umum yang menuju ke sana. Apalagi pada bulan-bulan basah seperti sekarang ini.
Setiap musim hujan tiba, satu-satunya jalan menuju ke desa itu akan tertutup lumpur tebal dari ladang brambang (bawang merah) di kiri kanan jalan. Erina lagi-lagi mengeluh. “Orang-orang serakah tak berperikemanusiaan. Cepat sekali mereka habiskan hutan lebat ini. Mereka pikir desa bisa aman dari bencana banjir jika resapan air berubah menjadi akar-akar brambang serapuh ini?”
Ya, Serayu adalah desa yang dikepung hutan dan bukit. Jalan menuju desa sejauh delapan kilometer dulunya merupakan hutan lebat yang ditumbuhi pohon jati. Namun sejak beberapa tahun terakhir, penebangan liar semakin marak, menyebabkan hutan yang dulu rindang menjadi gundul. Tanahnya yang subur dimanfaatkan penduduk untuk menanam brambang yang harganya mulai meroket.
“Apalah artinya kekayaan karena brambang, jika tempat tinggal mereka dipertaruhkan?” gumam Erina. Kekhawatiran yang beralasan. Selama ini, air hujan diserap sempurna oleh pohon-pohon di hutan. Sungai-sungai bawah tanah yang terbentuk menjadi cadangan air di musim kemarau, menghindarkan desa dari kekeringan. Juga menghindarkan desa dari musibah banjir saat musim hujan tiba.
Bagaimana kelanjutan kisah Sicilia? Baca selengkapnya di buku ini ^_^
Untuk pemesanan, hubungi aku melalui facebook Melia Shena.
Salam hangat,
Melia Shena